Duh, Penjara Jadi Kawasan Bagi Teroris Kuatkan Jaringan Dan Mengembangkan Keterampilan

Dosen Intelijen Stratejik Sekolah Kajian Stratejik dan Global Universitas Indonesia, Dr. Ir. Abdul Rivai Ras, MM, MS, MSi yang disapa Brorivai (KalderaNews/Ist)
JAKARTA, KalderaNews.com - Pengalaman adanya 2 tahanan teroris kabur dari Rumah Tahanan Narkoba Polda Metrojaya dan Lembaga Pemasyarakatan kelas II Waiheru Kota Ambon, yakni Roki Aprisdianto dan Basri Manuputty pada 2012 silam, bahu-membahu mampu menjadi pelajaran berguna dalam menanggulangi dan melaksanakan penahanan terhadap teroris.

Adanya insiden penyanderaan 9 orang polisi oleh 156 tahanan teroris di Mako Brimob yang menjadikan 5 anggota polisi gugur dan 4 orang luka-luka sudah menunjukkan kelemahan kekuatan negara dan meneguhkan bahwa terorisme di Indonesia masih ganas dan brutal dalam aksinya.

Dosen Intelijen Stratejik Sekolah Kajian Stratejik dan Global Universitas Indonesia, Dr. Ir. Abdul Rivai Ras, MM, MS, MSi yang disapa Brorivai menganggap perkara amukan teroris di Mako Brimob ini menggambarkan celah masih lemahnya administrasi dan sistem penanganan terorisme di Indonesia.

Data terakhir hingga tahun 2017, tercatat 271 narapidana teroris yang sekarang ditahan di 68 forum pemasyarakatan dan satu rumah dengan tahanan lainnya perlu menjadi perhatian serius.

“Ratusan teroris yang ada saat ini intinya harus diamankan sesuai dengan klasifikasi dan jenis ruang isolasi yang dibutuhkan karena merupakan tahanan yang mempunyai kategori kejahatan yang bersifat ultimate security threat,” terang Brorivai dalam keterangan persnya yang diterima KalderaNews, Kamis, 10 Mei 2018.

Kini perlu adanya penilaian dalam manajemen dan tata cara penanganan terorisme, terangnya, mengenang pelaku-pelaku kekerasan atau terorisme ketika ini kian ganas dan brutal alasannya adalah makin kuatnya doktrin mereka terkait dengan radikalisme dan fundamentalisme.

Terorisme itu tidak mengenal tempat dan waktu, walaupun mereka di dalam tahanan, siang dan malam mereka bekerja untuk membagi paham, terlebih para tahanan tersebut belum lewat assesmen dan menempuh tahapan proses de-radikalisasi. Ini sangat berbahaya karena penjara telah menjadi tempat bagi para tahanan teroris untuk saling menguatkan jaringan dan berbagi kemampuan.

“Untuk itu, ketika ini perlu ada evaluasi tentang kelemahan dan kekurangan dalam evaluasi risiko, klasifikasi, serta administrasi tahanan teroris yang efektif, termasuk tentang regulasi dan bantuan anggaran pemberantasan terorisme. Semestinya telah semenjak usang para tahanan teroris sudah dapat ditempatkan dipenjara khusus yang derajatnya super maximum security, bukan peristiwa demi peristiwa sudah terjadi baru akan dilaksanakan pemindahan,” imbuh salah satu pendiri Universitas Pertahanan ini.

Sayangnya, manajemen penanganan terorisme masih terbentur oleh adanya undang-undang yang tidak memberi kewenangan bagi densus 88 untuk mempunyai penjara khusus.

“UU teror 15/2003 tidak memberi mandat bagi polisi atau Densus untuk proses deradikalisasi di dalam tahanan. Sementara anggaran pemberantasan terorisme tahun 2018 mencapai 280-an milyar yang diposkan ke Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan, BNPT, Densus 88, dan Tentara Nasional Indonesia, sementara sekitar cuma Rp. 6 miliar ongkos koordinasi relokasi forum pemasyarakatan."

“Sekali lagi, jangan kita menunggu insiden demi peristiwa terjadi kemudian tahanan teroris itu baru kita pindahkan, sebab permasalahan nilai kemanusiaan dan keselamatan aparat negara juga perlu menerima jaminan,” pungkasnya. (JS)



* Jika merasa artikel ini berguna, silakan dishare pada saudara, teman dan sobat-temanmu.
Sumber https://www.kalderanews.com/

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama