JAKARTA, KalderaNews.com - Pada 2018 ini Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) kembali membuka posko pengaduan dan melaksanakan pemantauan selama proses Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB). Berikut ini 6 pelaporan dan kasus yang masuk dan ditemukan di lapangan oleh JPPI seperti disampaikan Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI), Ubaid Matraji pada KalderaNews:
1. Kebingungan orang bau tanah dengan NIK yang tidak terdaftar
Tahun ini masalah metode PPDB online (selain persoalan klasik soal server-down) yakni NIK yang belum terdaftar dalam sistem. Jika masalah susukan yang sulit atau server down mungkin bisa dikerjakan dengan menunggu waktu sela, tetapi masalah NIK yang tertolak ini cukup membuat cemas orang bau tanah. Pasalnya mereka merasa tidak ada problem dengan zonasi dan kuota, justru mereka terganjal dengan NIK yang tidak mampu diamasukkan dalam tata cara. Ini hampir terjadi merata di seluruh tempat.
2. Manipulasi Surat Keterangan Tidak Mampu (SKTM)
Kasus ini sudah terjadi pada tahun kemudian. Tapi sepertinya pemerintah tidak kunjung merevisi aturan. Masih saja SKTM diperbolehkan untuk dijadikan siswa masuk kuota miskin. Padahal, SKTM ini sungguh beresiko dimanipulasi alasannya adalah mampu dibentuk dengan gampang. Harusnya, untuk memberikan informasi tidak bisa, bisa dengan memperlihatkan Kartu Indonesia Pintar (KIP), Program Keluarga Harapan (PKH), atau Kartu Keluarga Sejahtera (KKS). Di beberapa kawasan memperlihatkan antusiasme mendaftar dengan mengisi dingklik kuota 20% bagi anak miskin dengan modal SKTM. Di daerah lain, yang melarang SKTM, namun mewajibkan memakai KIP atau PKH, justru sepi peminat, seperti terjadi di daerah Kalimantan Timur.
3. Pungli dan perdagangan dingklik
Pungli dan jual beli bangku mampu dikerjakan selama proses berjalan sebelum pengumuman dan masuk sekolah. Bisa dijalankan sebelum mendaftar, saat registrasi permulaan, dan dikala proses daftar ulang. Di salah satu Sekolah Dasar Negeri di Gresik misalnya pungli dengan argumentasi perlindungan perbaikan akomodasi sekolah. di daerah lain, ada juga dengan banyak sekali alasan berbeda, seperti ongkos LKS, seragam, buku, dan lain-lain. Padahal pungutan mirip ini telah terperinci tidak boleh dalam Permendikbud Nomor 75 Tahun 2016 wacana larangan sekolah menyediakan atau menjual perlengkapan sekolah, baik itu seragam, buku dan lain-lain. Sedangkan perdagangan bangku, dijalankan dengan dua versi sistem registrasi: dalam daring (online) dan luar daring (offline). bila tak terpenuhi lewat online, bisa ditempuh dengan jalur offline, di situlah angka mampu dipasang. Padahal, menurut Permendikbud No.14 Tahun 2018 ihwal PPDB jelas harus menggunakan salah satu metode, bukan dua-duanya digunakan.
4. Tes calistung dan psikotes di Madrasah
Bukan di sekolah, namun peristiwa ini di Madrasah Ibtidaiyah (setingkat dengan Sekolah Dasar). Peraturan ini dianggap oleh penduduk sangat membingungkan alasannya adalah di Sekolah Dasar, siswa bisa langsung masuk sekolah. Tapi, madrasah punya kebijakan yang aneh karena semua kandidat siswa harus mengikuti tes psikotes, ada juga yang dua-duanya: calistung dan psikotes. Kebijakan ini banyak dikeluhkan oleh orang bau tanah, alasannya adalah tidak mendorong kanal, tapi menambah beban anak kali pertama bersekolah dengan banyak sekali tes yang membingungkan dan tidak penting itu. Tahun kemudian telah banyak diprotes, tetapi tahun ini dalam Keputusan Dirjen Pendidikan Islam No. 481 Tahun 2018 wacana PPDB, hukum ini masih dilegalkan.
5. Tidak ada kuota afirmasi untuk anak berkebutuhan khusus
Kendala akses yang masih terjadi sampai hari ini adalah potensi sekolah bagi golongan yang tereksklusi. Di antara mereka yaitu belum dewasa yang berkebutuhan khusus. Banyak orang bau tanah dari ABK enggan bersekolah di sekolah selain SLB (Sekolah Luar Biasa), karena tidak ada kesepakatan dari pihak sekolah. Mereka juga menyesalkan, Permendikbud No.14 Tahun 2018 perihal PPDB tidak menawarkan kuota afirmasi bagi golongan difabel. Dalam konteks ini, aturan madrasah di bawah kemenag lebih ramah terhadap difabel. Keputusan Dirjen Pendidikan Islam No. 481 Tahun 2018 menawarkan kuota minimal 10% bagi anak berkebutuhan khusus.
6. Tidak ada contoh tarif pendaftaran jenjang Sekolah Menengan Atas/SMK
Ini bedanya PPDB tahun kemarin dengan tahun ini. Tahun kemarin semua jenjang mesti gratis dan dikontrol dalam permendikbud. Tahun ini berbeda, dan berdasarkan saya suatu kemunduran, alasannya permendikbud No.14 tahun 2018 mengijinkan pihak sekolah SMA/SMK untuk pasang tarif dikala pendaftara. Akibatnya, tarif tidak terkontrol dan pihak sekolah bebas memilih. Korbannya adalah orang tua yang tidak siap untuk mengeluarkan uang. Ini kebijakan aneh, alasannya kita tahu bahwa dilema susukan sekolah yang masih rendah yaitu jenjang Sekolah Menengan Atas/Sekolah Menengah kejuruan. Dengan adanya kebijakan ini bukan malah mengembangkan terusan wajib berguru 12 tahun, namun melah merontokkan kanal. (JS)
* Jika merasa postingan ini berguna, silakan dishare pada saudara, sobat dan sobat-temanmu. Sumber https://www.kalderanews.com/