Kidung Murung Guru Honorer Di Sumba, Mengajar Sambil Jualan Kudapan Manis

Para guru di Sumba, NTT (KalderaNews/Inovasi)
SUMBA, KalderaNews.com - “Saya belum bisa mengelola kelas dengan baik, saat bawah umur ribut. Saya jarang menciptakan media sendiri yang bisa mengefektifkan pembelajaran. Berkaitan dengan kurikulum, aku masih kurang mengetahui cara evaluasi dengan menggunakan kurikulum 13,” ujar bu Yuli, salah satu guru kelas awal dari salah satu sekolah dasar di Kecamatan Hahar, Sumba Timur.

Lain lagi dengan Ibu Kartini, “Saya kemarin tidak melaksanakan apersepsi atau awalan mengajar. Saya eksklusif masuk ke pembelajaran inti, padahal apersepsi itu penting untuk mengenang kembali pembelajaran sebelumnya. Saya waktu itu kurang mempersiapkan diri sebelum mengajar,” ujarnya polos.

Ibu Mardiana, pengajar kelas satu sekolah dasar mengungkapkan bahwa dari dua puluh sembilan orang muridnya, hanya empat yang sudah benar-benar lancar membaca. Lainnya masih terbata-bata. Ia merasa belum memahami secara benar bagaimana mengajar secara efektif yang membuat anak bisa menyambungkan karakter dan membaca tanpa hambatan dengan cepat.

Guru- guru tersebut adalah sebagaian dari guru-guru dari tiga sekolah yang diajak kembali oleh Inovasi, sebuah acara Pendidikan yang dibiayai oleh pemerintah Australia,  untuk merenungkan kelemahan-kelemahannya selama ini dalam pembelajaran. Bukan untuk dihukumi atau dinilai, namun untuk dicari jalan keluarnya.

Inovasi dalam informasi persnya pada KalderaNews menyebutkan kekurangan atau kelemahan tersebut dianggap sebagai problem yang memiliki akar dilema dan mereka juga diperlukan bisa  merancang sendiri acara untuk menangani akar masalahnya. Kegiatan program yang diperlukan bisa menciptakan mereka lebih siap, mampu dan nyaman dalam mengajar.

Namun di balik perumpamaan kejujuran tersebut, ada perjuangan lapang dada yang mereka kerjakan untuk sekolah mereka. Mereka semua yaitu guru honorer yang sudah mengajar kelas awal lebih dari sepuluh tahun, dengan gaji yang amat minim, di bawah 300 ribuan.

Ibu Mardiana , contohnya, telah mengajar selama 13 tahun. Awalnya di hanya lulus Sekolah Menengan Atas dan diminta oleh sekolah untuk mengajar sebab sekolah kekurangan guru. Ia langsung menyampaikan siap. “Makara waktu mengajar, alasannya adalah aku hanya lulusan Sekolah Menengan Atas, saya asal mengajar saja. Saya tidak tahu waktu itu tata cara-sistem mengajar,” ujarnya.

Untuk meningkatkan kompetensinya, dia melanjutkan kuliah PGSD jarak jauh yang dia tempuh mulai 2006 dan selesai pada tahun 2013 atau selama tujuh tahun. Biaya kuliahnya 750 ribu per bulan. Uang gaji yang beliau terima per triwulan dari sekolah sebetulnya tidak cukup untuk membiayai hidup dan SPPnya tersebut. Akhirnya ia mengajar sambil jualan kue. Ia sempat ambil cuti semester berulang kali alasannya tak berpengaruh dengan ongkos kuliahnya.

Demikian juga ibu Kartini.  Ia sudah menjadi guru honorer 12 tahun. Mulai tahun 2005. Gaji honorernya juga tak cukup untuk membayar kehidupan sehari-hari dan kuliah S1 PGSD yang ia tempuh, sehingga beberapa kali mengambil cuti semester. Hal yang sama juga terjadi pada Ibu Yuli.

Mereka yaitu para guru kelas permulaan yang mempunyai dedikasi tinggi untuk membuat belum dewasa menerima pendidikan yang baik. Tanpa banyak digaji, dengan beban kehidupan modern yang amat tinggi, mereka tetap melakukan pekerjaan sepenuh hati dan tetap melanjutkan kuliah untuk mengembangkan kapasitas mereka. Mereka sudah menisbahkan dan mendedikasikan dirinya untuk mencerdaskan anak latih. 

Mereka juga amat haus pembelajaran dan training semoga mampu meningkatkan kompetensi mereka yang mereka rasa masih sangat kurang. Di kecamatan Hahar, tempat sekolah tersebut, internet masih sungguh sulit dicapai. Sinyal telepon cuma mampu diraih di beberapa titik tertentu saja sehingga isu pendidikan juga sulit diakses.  

“Saya di sekolah harus mengajar memakai K13, sedangkan saya belum pernah mendapatkan pelatihan tersebut dan juga susah menerima kanal gosip. Akhirnya untuk menanggulangi kelemahan saya, saya berguru dari sobat saya, ibu Servina,” ujar ibu Yuli.

Mereka juga menyampaikan bahwa pertemuan Kelompok Kerja Guru (KKG), selaku ajang untuk mengembangkan kompetensi guru,  kurang berkala dijalankan oleh sekolah. Hal ini, menurut mereka kemungkinan alasannya kurangnya dana. Di sekolah mereka, KKG dilaksanakan rata-rata cuma satu kali per satu semester.

“Oleh alasannya adalah itu, kami berharap Inovasi, sehabis acara eksplorasi persoalan-masalah kami ini, melatih kami untuk menciptakan kami lebih kreatif, mengajar dan mengurus kelas dengan lebih baik, ” harap Ibu Mardiana.

Diketahui, Program Inovasi di NTT sendiri telah dimulai pada bulan Juli 2017. Penandatanganan MoUnya  dengan  pemerintah provinsi Nusa Tenggara Timur dilaksanakan bulan November 2017. Program ini akan dilaksanakan hingga tahun 2019.

“Kita berharap semua pihak baik pemerintah, swasta dan masyarakat, menimbang-nimbang nasib guru. Peningkatan kompentesi dan taraf hidup mereka sungguh memilih keberhasilan pendidikan anak-anak di sekolah,” ujar Provincial Manager Inovasi untuk NTT di Sumba Timur, Hironimus Sugi. (JS)

* Jika merasa postingan ini berfaedah, silakan dishare pada saudara, teman dan sahabat-temanmu.
Sumber https://www.kalderanews.com/

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama