Ini 4 Bukti Nawa Cita Terkait Pendidikan Masih Jauh Dari Kata Sukses


JAKARTA, KalderaNews.com - Pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla memiliki sembilan acara prioritas yang disebut dengan istilah nawa cita. Pada nawa cita nomor delapan tertulis “melaksanakan revolusi aksara bangsa.” Perubahan aksara bangsa salah satunya ditempuh lewat jalur pendidikan.

Apakah taktik melalui jalur pendidikan tersebut sudah berhasil dilakukan? Tampaknya masih jauh dari kata sukses. Karena dunia pendidikan Indonesia ketika ini sedang dalam kondisi darurat.

“Komnas HAM mencatat ada 4 kondisi darurat pendidikan Indonesia yaitu: darurat alasannya banyak perkara pelanggaran HAM, darurat alasannya adalah ranking pendidikan Indonesia yang jelek, darurat alasannya banyak masalah korupsi kepada anggaran pendidikan dan darurat alasannya sistem pendidikan yang belum berjalan dengan baik,” kata Beka Ulung Hapsara Koordinator Subkomisi Pendidikan dan Penyuluhan Komnas HAM pada KalderaNews.

1. Pelanggaran HAM

Beragam tindakan pelanggaran HAM di sekolah dan akademi tinggi dari tahun ke tahun terus meningkat jumlahnya. Pun dengan bentuk pelanggarannya, pelaku, korban dan modus operandinya. Badan PBB untuk Anak (Unicef) menyebutkan, 1 dari 3 anak perempuan dan 1 dari 4 anak pria di Indonesia mengalami kekerasan. Data ini memperlihatkan kekerasan di Indonesia lebih sering dialami anak perempuan. Hasil riset Plan International dan International Center for Research on Women (ICRW) pada Maret 2015 menyatakan 84% anak di Indonesia mengalami kekerasan di sekolah. Angka tersebut lebih tinggi dari tren di daerah Asia adalah 70%.

Menurut data Komnas HAM, kasus praduga pelanggaran HAM terkait gosip pendidikan condong meningkat. Pada 2017 ada 19 masalah, sedangkan 2018 sampai April 2018 telah ada 11 masalah. Hak-hak yang dilanggar, antara lain hak atas pendidikan, hak memperoleh keadilan, hak berbagi diri, hak atas kesejahteraan, dan hak atas hidup. Tempat kejadiannya ada di Sumatra, Jawa, Sulawesi, Kalimantan, Maluku, Papua, Bali dan Nusa Tenggara.

2. Ranking Pendidikan Indonesia

Peringkat pendidikan Indonesia menurut Programme for Internasional Student Assessment (PISA) pada 2015 berada pada posisi 64 dari 72 negara anggota Organization for Economic Cooperation and Development (OECD). Di ASEAN, ranking pendidikan Indonesia nomor 5 di bawah Singapura, Brunei Darusssalam, Malaysia dan Thailand.


“Harusnya ranking pendidikan Indonesia bisa sejajar dengan negara-negara maju sebab budget pendidikannya besar meraih 20% dari APBN atau lebih dari Rp 400 triliun,” kritiknya.

Angka partisipasi pendidikan (APS) di Indonesia juga masih terjadi ketimpangan besar antara pendidikan dasar-menengah dengan pendidikan tinggi. Menurut data dari Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2017 APS di pendidikan formal, sebagai berikut: APS Sekolah Dasar (7-12 tahun) mencapai 99,08%; APS Sekolah Menengah Pertama (13-15 tahun) sebanyak 94,98%; APS Sekolah Menengah Atas (16-18 tahun) ada 71,20%; APS Perguruan Tinggi (19-24 tahun) hanya 24,67%.

“Pendidikan yang berkualitas, inklusif, adil, setara dan merata ialah amanat yang tercantum di Sustainable Development Goals (SDGs). Pemerintah mesti bisa menyanggupi amanat tersebut,” terangnya.

3. Korupsi


Bidang pendidikan masih dan terus terjangkiti tikus-tikus koruptor. Anggaran untuk pendidikan pada 2016 mencapai Rp 424,7 triliun. Menurut catatan Indonesia Corruption Watch (ICW) pada jangka waktu 2005 – 2016 terdapat 425 kasus korupsi terkait anggaran pendidikan dengan negara Rp 1,3 triliun dan nilai suap Rp 55 miliar. Pelakunya melibatkan kepala dinas, guru, kepala sekolah, anggota dewan perwakilan rakyat/DPRD, pejabat kementerian, dosen, dan rektor. Kasus terbanyak terjadi di dinas pendidikan. Adapun objek yang dikorupsi terkait dengan Dana Alokasi Khusus (DAK), sarana dan prasarana sekolah, dana BOS, dana buku dan infrastruktur sekolah. “Korupsi sektor pendidikan harus diberantas tuntas. Pelakunya harus di hukum berat,” ujarnya.

4. Sistem Pendidikan


Sistem pendidikan Indonesia belum berlangsung optimal alasannya mutu guru yang rendah, situasi pembelajaran di sekolah yang tidak kondusif, dan kurikulum pendidikan yang membebani murid dan belum mengakomodir keanekaragaman budaya yang ada di masyarakat. Metode pendidikan yang menjemukan, belum mampu menumbuhkembangkan potensi/bakat yang dimiliki murid. Sekolah dan perguruan tinggi belum inklusif: diskriminatif kepada penyandang disabilitas dan belum bisa menyediakan fasilitas sesuai keperluan penyandang disabilitas. Masih terus terjadi perkara plagiatisme untuk meraih gelar sarjana (S1), master (S2), dan doktor (S3).

Komnas HAM pun mendesak Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Kementerian Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi, Kementerian Koordinator dan Pembangunan Manusia dan Kebudayaan serta stakeholder pendidikan yang lainnya untuk membentuk satuan peran penanganan pelanggaran HAM di sekolah dan sekolah tinggi tinggi, mengimplementasikan Program Sekolah Ramah HAM (SRHAM) yang digagas Komnas HAM, mengembangkan mutu guru dan menyanggupi tenaga guru di daerah terpencil dan terluar Indonesia, memperbaiki kurikulum yang belum sesuai keinginan penduduk , menerapkan tata cara pembelajaran partisipatif yang mengasyikkan, menerapkan sekolah dan akademi tinggi inklusi di seluruh Indonesia, pro aktif mendukung dan melaksanakan pemberantasan korupsi di dunia pendidikan dan meniadakan praktik plagiatisme di dunia pendidikan terutama di perguruan tinggi tinggi.

"Kami (Komnas HAM) meminta kepada pemerintah sentra dan kawasan untuk memastikan anak usia sekolah menengah dan tinggi memiliki susukan pada pendidikan menengah dan tinggi," pungkasnya. (JS)


* Jika merasa postingan ini bermanfaat, silakan dishare pada kerabat, teman dan teman-temanmu.
Sumber https://www.kalderanews.com/

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama