Gegar Budaya Mahasiswa Indonesia Di Belanda, Apa Yang Mesti Dilaksanakan?

Para mahasiswa di Amsterdam membuatkan pengalaman bersama KalderaNews yang sedang ada di Belanda dalam rangka "KalderaNews Jelajah Negeri Kincir Angin 2018" yang diprakarsai oleh Nuffic Neso Indonesia di halaman terbuka Vrije Universiteit Amsterdam (VUA), Kamis, 15 November 2018 (KalderaNews/Fajar H)
AMSTERDAM, KalderaNews.com - Dengan lepas, Insan, begitu beliau biasa disapa, membeberkan fenomena yang terjadi pada sahabat-teman kampus PhDnya di Belanda. Tangannya tak henti bergerak. Seakan tiap kata memiliki makna yang harus dipertegas dengan bahasa badan.

Student yang dateng ke sini gak siap akan culture shock. Permasalahan timbul ketika bawa keluarga, tapi keluarganya pulang duluan,” kisahnya sembari menengguk kopi hangat di halaman terbuka Vrije Universiteit Amsterdam (VUA).
 

Kamis siang, 15 November 2018 sekitar pukul 15:00 waktu Belanda, suhu udara memberikan 7 derajat celcius. Mahasiswa bernama lengkap Insan Firdaus, dikaruniai satu anak dan sedang mengambil jenjang PhD di VU Clinical Neuro and Developmental Psychology, mengembangkan pengalaman bareng teman-temannya dengan KalderaNews yang sedang ada di Belanda dalam rangka "KalderaNews Jelajah Negeri Kincir Angin 2018" yang diprakarsai oleh Nuffic Neso Indonesia.

Culture shock atau gegar budaya itu situasi yang bisa dialami oleh semua orang. Hal ini terjadi kalau orang tersebut tidak mampu menyesuaikan dirinya dengan lingkungan barunya. Contoh sederhananya, mahasiswa Indonesia yang berkuliah di Belanda berhadapan dengan budaya dan lingkungan yang berbeda.

“Gaya hidup di sini individualistis dan fokus dengan pekerjaan,” terperinci Hadi Rahmat Purnama dengan rokok dari Indonesia yang terselip di sela jarinya mendukung pernyataan Insan.

Ia mengakui gegar budaya bahkan bisa datang dari lingkungan kampusnya sendiri, mirip yang dialami Insan dan Hadi di Amsterdam ini. Mereka merasakan bahwa lingkungan kampusnya memiliki sifat yang individualistis. Mahasiswa di VUA yang lebih banyak didominasi warga negara Belanda dan cuma sedikit mahasiswa internasional, menciptakan keduanya cukup susah untuk bergaul.

Hadi, begitu beliau biasa disapa, mencontohkan mirip ketika keluar pintu kantor, antar sobat kerja hasilnya tidak memiliki korelasi apa-apa. Hubungan terjalin sebatas di kantor saja.

Dengan sebatang rokok yang masih menempel di bibirnya, mahasiswa PhD International Law VUA ini menerangkan bahwa mahasiswa PhD lazimnya menerima teman dan sahabat dari kolega dan sobat kerja. Ia memastikan kalau telah ditraktir makan atau diajak makan ke rumah, itu sudah terhitung erat.

Sayangnya, karena budaya, lingkungan dan model pertemanan yang berlainan, orang Indonesia risikonya lebih cepat baper dan dimasukkan ke dalam hati. Oleh alasannya itu, hal ini perlu cepat diadaptasikan.

Lebih Guyup

Beda jenjang pendidikan, beda pula suasana pergaulannya. Seperti yang dialami dan dirasakan Bhagasjati, mahasiswa S1 Leiden yang aktif di PPI Belanda ini menceritakan bagaimana mahasiswa jenjang sarjana dari Indonesia mendapatkan relasi guyup dalam pertemanannya.

“Lebih mudah guyub alasannya komunikasi telah terjalin di Indonesia,” ujar pria berkacamata bundar itu dengan raut paras yang sangat meyakinkan ketika bercerita.

Saat pertama kali datang ke Belanda, Bhagas justru berteman dengan mereka yang notabene internasional. Baru 3 bulan akhir-akhir ini, dia berkenalan dan berteman baik dengan orang Indonesia.

Hal senada disampaikan sahabat-sobat dari Fontys, universitas berbasis riset di Eindhoven. Dengan banyaknya mahasiswa internasional, Albert dan Amelia yang hadir dalam bincang kalem kali ini merasakan bahwa lingkungan kampus di Fontys hangat, terbuka, dan suportif, sehingga mereka mudah bergaul dan berteman dengan semua orang.

Para pengurus Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI) Amsterdam ikut mengembangkan pengalaman hidup di halaman terbuka Vrije Universiteit Amsterdam (VUA), Kamis, 15 November 2018 (KalderaNews/Fajar H)
Albert dan Amelia ialah mahasiswa acara double degree dari Universitas Petra di Surabaya. Mereka melanjutkan pendidikan di jurusan ICT Software Engineering. Selama setahun mereka menjalani pendidikan jenjang S2.

Albert mengaku sudah mempersiapkan bahwa akan ada perbedaan budaya Indonesia dan budaya di Negeri Kincir Angin dari kakak tingkatnya. Namun, perbedaan yang ia rasakan justru kasatmata. Bahkan, hal itu bisa membantunya dalam bergaul dan belajar di Fontys.

Ia pun mewanti-wanti semoga gegar budaya itu jangan dianggap sepele alasannya ini memengaruhi pergaulan dan cepat tidaknya prosses penyesuaian dengan lingkungan gres.

"Jika kita tidak mampu beradaptasi , mampu saja muncul stres atau bahkan tertekan," tandasnya.

Peran PPI Sebagai Support System

Biasanya bila seseorang sedang depresi atau dalam persoalan suka menceritakan keluh kesah tersebut pada sobat atau sobat akrab. Melalui cara ini, mereka mampu meminta kritik, anjuran dan dukungan.

Namun bagi para mahasiswa Indonesia di Belanda yang sudah meninggalkan support system mereka di Indonesia, lain lagi persoalannya. Orangtua, sahabat, sobat hingga rekan kerja sudah jauh dari Negeri Kincir Angin. Oleh alasannya adalah itu, membentuk support system yang gres atau bergabung dengan support system yang ada yaitu keputusan yang bijak dan sempurna, adalah mirip bergabung di Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI).

Di PPI mahasiswa Indonesia mampu menerima support system untuk kebutuhan psikis atau keperluan keseharian lainnya. PPI juga memperlihatkan jalan pengertian, pinjaman, dan informasi terkait masalah pertemanan dan pendidikan di Belanda.

Insan menuturkan, bila dirinya dan sobat-temannya kini tengah membesarkan support system dengan orang-orang Belanda dan dengan orang Indonesia di Belanda, salah satunya melalui PPI dan komunitas paguyuban sekitar. Ia mengakui support system membantu secara psikologi. Support system yaitu basic needs.

Halaman terbuka Vrije Universiteit Amsterdam (VUA), Kamis, 15 November 2018 (KalderaNews/Fajar H)
Berkaca dari pengalaman Insan, dikala tiba di Belanda ia merasakan ada komunikasi yang bagus. Ketika hingga Belanda ia merasa disambut dengan hangat. Ia dijemput dan diakomodir. Dengan perlakuan mirip ini, Insan merasa tidak stres, kecuali untuk persoalan dasar seperti duduk perkara finansial.

Ia pun mengakui, dikala datang, mahasiswa Indonesia itu masih kagum dengan kondisi dan perkuliahan di Belanda. Permasalahan mulai timbul saat telah ada kendala dalam perkuliahan atau kehidupan sehari-hari.

“Kondisi 3-4 bulan mahasiswa masih kagum dengan perkuliahan di sini. Setelah 4 bulan, telah mulai turun sebab problema dan lika-liku kehidupan di sini. Support system memiliki kegunaan di dikala-ketika mirip ini ,” timpal Hadi.

Mereka pun lantas berpesan biar jangan pernah meremehkan dengan yang namanya support system. Dengan adanya support system, mahasiswa Indonesia mampu terbantu secara psikis untuk tidak stress dalam menjalani duduk perkara perkuliahan dan mampu berkomunikasi dengan orang lain.

Keberadaan Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI) tak bisa dibantah sungguh menolong mahasiswa untuk menerima rasa kondusif dan tenteram. PPI menciptakan harmoni persahabatan antar mahasiswa Indonesia. Tidak hanya sekadar menyebarkan informasi, tetapi juga saling menjalin silaturahim. PPI itu fakta support system bagi para mahasiswa Indonesia di perantauan. (FH)


SIMAK VIDEO
KalderaNews Jelajah Negeri Kincir Angin 2018 

(Dalam Proses Editing)

* Jika merasa postingan ini bermanfaat, silakan dishare pada kerabat, teman dan sobat-temanmu.

Sumber https://www.kalderanews.com/

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama