Beberapa mahasiswa Indonesia yang sedang kuliah di Belanda bersama tim KalderaNews. Foto diambil di halaman Vrije Universiteit Amsterdam (KalderaNews/Fajar H) |
Karena mekanisme yang cukup rumit, mahasiswa Indonesia semestinya telah menyiapkan housing sebelum tiba di Belanda. Jika tidak, urusannya akan berabe. Apalagi jika tidak disediakan secara masak-masak, urusannya akan kemana-mana. Siapa pun tentu tidak mau punya masalah, apalagi di negeri orang kan!
BACA JUGA:
Housing dan Family Allowance, Masalah Paling Pelik bagi Awardee LPDP
Keren! Hasil Kerja Part Time Bisa Boyong Keluarga ke Belanda! Kok Bisa?
Masak Bareng dan Kerja Part-Time Bukan Cara Paling Konyol untuk Survive di Belanda
Jangan Ngaku Technology Enthusiast Kalau Belum Kuliah di Sillicon Valley-nya Eropa!
Gaung International Students' Day 2018 dari Kota Pelajar Delft di Belanda
Gegar Budaya Mahasiswa Indonesia di Belanda, Apa yang Harus Dilakukan?
Nuffic Puji Keterbukaan dan Transparansi LPDP
Nah, saat KalderaNews bertemu mahasiswa Indonesia di Vrije Universiteit Amsterdam (VU) pada Jumat, 16 November 2018, mereka banyak yang curhat wacana housing ini, masalah yang kerap mendera dan menyita waktu. Saat itu KalderaNews yang sedang di Belanda dalam rangka "KalderaNews Jelajah Negeri Kincir Angin 2018" yang diprakarsai oleh Nuffic Neso Indonesia.
Ahmad Dzulfikar, mahasiswa PhD Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial Vrije Universiteit (VU) menyampaikan housing ini sungguh kompetitif dan tidak bisa menyewa eksklusif ke ownernya, namun lewat makelar atau pihak ketiga yang resmi. Karena itu, mahasiswa asal Makassar ini pernah merasakan sulitnya mendapatkan housing yang memang sesuai dengan keinginannya.
“Kesulitan tersebut memang telah berjalan sejak usang,” tegas Dzul.
Ia memberikan pemesanan housing memang mampu juga langsung ke ownernya, tetapi berita tersebut sungguh terbatas cuma dari ekspresi ke verbal saja atau isu via Facebook.
Sayangnya, berita dari Facebook juga tidak bisa sepenuhnya bisa eksklusif dipercaya. Ada banyak penipuan housing yang berasal dari gosip Facebook.
"Memang, satu-satunya yang termurah itu cuma melalui kampus. Cuma listnya panjang. Bisa tunggu hingga setahun. Hadi dua tahun, si Insan setahun. Kami urus itu semenjak dari Jakarta," imbuhnya.
Hadi Rahmat Purnama (kiri), mahasiswa S3 International Law VU bareng rekannya (KalderaNews/Fajar H) |
“Ada Studio. Itu ada fasilitas kamar mandi, kamar tidur, dan dapur. Bayarnya 500 Euro perbulan," tuturnya menjelaskan salah satu jenis housing.
"Kalau melalui agen kita mesti bayar agen lagi. Mereka itu dibayar seharga satu bulan harga sewa yang bakal kita bayar. Itu bayarnya cuma sekali, ialah pas kita sudah deal untuk menyewa," kata Hadi.
Housing terakhir yang dihuni Hadi seharga 425 Euro. Harga tersebut tidak tergolong pajak sampah sebesar 34-40 Euro per orang, fasilitas internet, purivifikasi hingga biaya air. Jika ditotal, Hadi mengeluarkan hampir 600 Euro cuma untuk persoalan indekos saja.
Nasib "tersialnya", ketika ia tidak mendapatkan housing selama dua bulan. Ia terpaksa menginap di student hotel. Tragisnya, dalam dua tahun dia pernah lima kali ganti housing.
"Itu kan tidak elok,” ujarnya.
Saking banyaknya pindah housing, beliau kini lebih memahami aneka macam aturan dan seluk-beluk dalam sewa housing.
"Aturannya ketat. Kalau dibilang cuma boleh satu orang, ya memang hanya satu orang. Kalau ketahuan, kita kena denda," kata Hadi.
Karena rumit dan kompetitifnya untuk urusan housing di Belanda ini, Hadi lantas berharap agar seluruh kampus di Belanda menolong urusan housing ini, utamanya kampus yang jadi tempat belajar dikala ini di VU.
“Urusan indekos itu sebetulnya tidak sulit alasannya kita (pihak Indonesia) kan bayar ke mereka. Tapi, lho kok malah kita yang mesti cari sendiri. Di VU kita tidak mampu akomodasi housing yang sama dengan era studi kita. Cuma dapat satu tahun. Setelah satu tahun, kita mesti cari sendiri,” keluh Hadi.
Insan bareng istri tersayang, Jessica (tengah jaket hitam) dan Atika (Ketua PPI Belanda) usai hadir dalam acara PPI Belanda di Den Haag, 16 November 2018 (KalderaNews/Fajar H) |
Ia memang menerima student housing dengan dukungan kampus senilai 905 Euro dan sudah termasuk semua kebutuhan di dalam rumah itu.
“Tapi itu optimal setahun aja. Setelah itu, (kita) harus keluar dan cari sendiri,” kisahnya.
“Di permulaan aku cari rumah itu terpaksa cari yang murah banget,” imbuhnya.
Bahkan, ia mesti rela menyusuri sudut-sudut kota Rotterdam hanya untuk mendapatkan housing dengan anggaran seminim mungkin.
Diketahui, Hadi dan Insan yakni mahasiswa yang studi dengan fasilitas beasiswa LPDP. Karena allowance yang diberikan LPDP masih di bawah UMR Amsterdam, mereka terpaksa masih harus mengakali pengeluaran seminim mungkin. Tak jarang, mereka mesti nombok untuk memenuhi kebutuhannya sehari-hari.
Untuk mengakali membengkaknya pengeluaran, Insan mengeluarkan jurus Toeslag. Toeslag ialah subsidi atau perlindungan dari pemerintah Belanda berupa tunjangan atau perlindungan finansial untuk sewa rumah dan untuk asuransi kesehatan kepada warga Belanda atau yang memiliki izin tinggal di Belanda, mirip pelajar dan mahasiswa.
Saat ini, Insan tinggal menunggu keputusan pemerintah lokal terkait Toeslag yang telah diajukannya.
Karena permasalahan housing yang mampu menciptakan mahasiswa sakit kepala tujuh keliling, pasti hal ini menjadi satu pelajaran berharga bagi siapa saja yang ingin melanjutkan studi ke Belanda supaya lebih mengamati untuk persoalan primer yang satu ini.
Salah satu caranya, yakni dengan menghubungi pihak universitas jauh-jauh hari sebelum kurun studi dimulai untuk menerima akomodasi housing murah. So, telah siap studi di Belanda dengan lika-likunya? (FH)
SIMAK VIDEO
Studi Banding LPDP ke Nuffic di Den Haag 2018
Oleh
Direktur Utama LPDP, Rionald Silaban
Studi Banding LPDP ke Nuffic di Den Haag 2018
Oleh
Direktur Utama LPDP, Rionald Silaban
* Jika merasa postingan ini berfaedah, silakan dishare pada kerabat, sobat dan sobat-temanmu.
Sumber https://www.kalderanews.com/